19 Januari 2014
Jakarta – Baru-baru ini lewat media sosial saya bertegur sapa dengan beberapa teman yang dulu masih berada di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah pertama ketika serangan teroris 11 September terjadi di Amerika Serikat. Sebagian besar dari anak-anak muda ini sepakat bahwa terorisme semacam itu tidak bisa dibenarkan. Qurrota Ayuni, 24, misalnya mengatakan: “Apa pun alasannya, serangan 11 September tidak bisa dibenarkan atas nama kemanusiaan. Teror itu membunuh ribuan orang tidak bersalah demi kepentingan sektarian yang sempit.”
Namun, perhatian utama para pemuda ini adalah dampak peristiwa 11 September pada negara mereka sendiri.
Sayangnya, di Indonesia dampak 11 September terkait dengan persepsi bahwa Barat sedang berperang dengan Islam – persepsi yang telah secara tidak langsung turut menambah jumlah anak muda Muslim ekstremis di Indonesia. Memperingati sepuluh tahun 11 September, yang tepat dilakukan adalah mendorong wahana-wahana damai agar pemuda terlibat dalam masyarakat.
Yang menyedihkan, sebagian anak muda, meski sedikit tetapi signifikan, telah ambil bagian dalam aksi teroris di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan. Misalnya, Januari lalu, polisi menangkap enam tersangka teroris yang berusia antara 19 dan 21 tahun di Klaten, Jawa Tengah.
Keterlibatan pemuda dalam gerakan ekstremis juga dibenarkan oleh survei yang diadakan di Jakarta dari 2010 hingga 2011 oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian. Survei tersebut mengungkap bahwa sebagian siswa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas memiliki kemauan untuk terlibat dalam berbagai tindak kekerasan, memberantas atau menggerebek klub-klub malam, menutup paksa rumah ibadah agama lain atau membantu Muslim di wilayah konflik dengan memasok senjata kepada mereka.
Yang penting dalam proses deradikalisasi pemuda adalah keterlibatan mereka berorganisasi. Sayangnya, organisasi-organisasi yang menyasar pemuda telah menurun dalam beberapa tahun belakangan. Setelah lengsernya Suharto pada 1998, yang menggulirkan reformasi, banyak perhimpunan pemuda tergabung dalam partai-partai politik, baik lokal atau nasional, demi memberi tambahan dukungan bagi para kandidat. Di antara organisasi-organisasi yang tidak terfokus pada politik pun, banyak yang berusaha meningkatkan kesalehan kolektif dan melibatkan pemuda dalam organisasi-organisasi radikal seperti Front Pembela Islam (FPI).
Radikalisasi pemuda Muslim saat ini terjadi seiring dengan menurunnya popularitas organisasi pemuda yang fokus pada pengembangan karakter dan kreativitas. Karang Taruna – yang merupakan jejaring pemuda di desa-desa yang memberdayakan pemuda lewat kegiatan seperti olahraga, pelatihan keterampilan keuangan dan seni – jarang ditemukan dewasa ini. Ketua Umum Karang Taruna, Taufan E. N. Rotorasiko, mengatakan bahwa salah satu alasan mengapa Karang Taruna kurang menarik buat pemuda dan kurang aktif mengadakan kegiatan di tahun-tahun terakhir adalah karena Departemen Sosial, yang pernah menjadi pelindung utama Karang Taruna, dihapus pada masa Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999.
Melibatkan pemuda dalam kegiatan kreatif seperti seni dan olahraga bisa menurunkan risiko bergabungnya mereka dengan kelompok-kelompok ekstremis karena mereka mempunyai kesempatan untuk bergaul dengan para pemuda dari latar belakang etnis, agama dan sosio-ekonomi yang berbeda, dan karenanya meningkatkan toleransi mereka terhadap keragaman.
Misalnya, para santri di Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah, terlibat dalam International Award for Young People (IAYP), program penghargaan internasional yang ditujukan pada para individu berusia 14 hingga 25 tahun, yang tertarik dalam program pengembangan diri.
Nurul Faizah, kordinator program IAYP yang bekerja di Pesantren Pabelan, mengatakan bahwa program ini membantu para pelajar menjadi lebih terbuka pada perbedaan latar belakang orang lain. Misalnya, para pelajar peserta terlibat dalam diskusi dengan para pelajar dari sekolah non-Muslim dan memainkan pertandingan olahraga persahabatan dengan para pelajar dari seminari Katolik setempat.
Ada pula contoh-contoh keberhasilan perhimpunan pemuda di tingkat mahasiswa, seperti Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci), yang terbilang kelompok diskusi mahasiswa tertua di Indonesia yang masih ada. Para aktivis Formaci mengembangkan pemikiran terbuka, demokratis dan kritis, dan berkomitmen memperjuangkan HAM. Para anggota Formaci juga secara aktif melawan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi yang mendorong tumbuhnya perkumpulan pemuda yang independen dari politik seharusnya menjadi bagian dari solusi untuk menghentikan gerakan-gerakan radikal.
Melawan gerakan-gerakan radikal butuh pendekatan yang lunak. Yang menyedihkan, salah satu warisan 11 September adalah apa yang disebut “perang melawan teror”, yang justru turut membuat gerakan-gerakan radikal bangkit dengan merekrut anak muda dalam perjuangan radikal anti-Amerika.
Ada cara yang lebih baik untuk memerangi radikalisme dan terorisme, yang terbukti berhasil di Indonesia – juga di banyak negara. Yaitu, memberdayakan pemuda, dengan membantu mereka mencapai cita-cita yang positif dan, dalam prosesnya, meninggalkan yang negatif dan bernuansa kekerasan. Bila cara ini diikuti, ini akan memberi pemuda cara pandang yang lebih baik terhadap masa depan, dan akhir yang lebih pas bagi tragedi 11 September.
Sumber: http://www.commongroundnews.org/
No comments:
Post a Comment