02 Nopember 2014
Tidak sedikit yang ditempuh para remaja sehingga
menemukan jodohnya, tetapi banyak juga yang sebenarnya keliru namun tidak
disadari. Ketika semuanya terjadi dan punya anak, tidak ada lagi
perasaan salah, karena proses
adaptasi yang kuat sehingga terperangkap dalam subjektifitas posisinya.
Kesalahan dalam memilih calon pasangan hidup itu terletak pada beberapa hal, yaitu motivasi, jalan yang ditempuh, dan
pandangan hidup yang mendasari penilaiannya. Yang lebih krusial sebenarnya persoalan cinta yang dianggap sama dengan birahi, justru
menjadi faktor dominan dalam memilih calon pasangan, sehingga mengalahkan pendekatan
intlektual dan spiritual. Padahal pendekatan terahir ini justru lebih sempurna,
tetapi kebanyakan remaja tidak sanggup untuk menjangkaunya, bahkan dianggapnya kontra produktif terhadap intlektualitas, apa lagi terhadap
dorongan libido. Pandangan yang keliru menyebabkan remaja tidak memiliki
standar dan neraca keseimbangan bagi pasangan (kafa’ah) yang mengakibatkan
terjadinya beberapa kemungkinan buruk dalam keluarga, yaitu ketidak harmonisan
atau perceraian, keturunan yang rusak, tidak terbangunnya agama dalam keluarga, atau terjadinya
poligami tanpa alasan yang mendasar.
Mencari calon
pasangan hidup memang gampang-gampang susah, gampangnya kalau dihitung dengan
akal, susahnya karena soal jodoh bukan domain akal.
Beberapa aspek yang ikut terlibat dalam memilih calon pasangan hidup
antara lain aspek emosi, intlektual dan aspek spiritual - Itu semua
setelah yang berangkutan memiliki kesadaran kuat akan keberadaannya-. Aspek emosi diperlukan sebagai pendorong lahirnya
keinginan untuk berkeluarga, aspek intlektual berguna
dalam memberikan berbagai pertimbangan, dan aspek spiritual dapat menemukan sisi gaib yang lebih hakiki namun tidak dapat dijangkau oleh
akal.
Ketiga aspek
tersebut sesuai dengan objek (calon) yang juga
memiliki beberapa dimensi, pertama dimensi fisik dan
prilaku biologis yang dapat dilihat
dengan panca indra,kedua, dimensi psikologis
yang dapat diamati melalui gejala
tingkah laku dengan menggunakan pengetahuan atau intlektualitas,
dan ketiga, dimensi rohani
yang hanya dapat ”diteropong” menggunakan kekuatan spiritual.
Kriteria laki-laki
dan perempuan sebagai objek pilihan yang multi dimensional itu relatif sama,
yaitu kecantikan/ketampanan, harta, kedudukan, keturunan, dan agama. Namun
keempat hal tersebut memiliki rincian, porsi dan tingkatannya
sendiri-sendiri yang kemudian memerlukan keserasian antara kedua calon
yang disebut dengan ”kafa’ah”.
Kafa’ah inilah
yang sebenarnya sangat menentukan kelanggengan hubungan suami-istri, namun tidak sebatas pemahaman
klasik, melainkan harus diterjemahkan sesuai
paradigma kekinian yang lebih realistis.
Motivasi Dan Jalan Yang Ditempuh
Motivasi utama para remaja mencari calon pasangan hidup pada
umumnya karena dorongan libido, sulit bagi nalar mereka bagaimana tanpa
dorongan seksual seseorang dapat mencari
jodoh, padahal telah banyak pasangan yang
melangsungkan pernikahan bukan karena dorongan seksual, tetapi karena kedewasaan intlektualnya bahkan karena ketinggian
spiritualitasnya, sehingga mampu
menetralisir emosinya. Ibarat orang mau makan,
biasanya nafsu makan itu menjadi pendorong awal, tetapi toh masih bisa diimbangi dengan kesadaran ilmiyah
menyangkut nutrisi yang dibutuhkan, sehingga dapat memilih mana makanan yang
sehat dan mana yang tidak.
Membangun motivasi
ini bukan hal sederhana apalagi bagi ABG. Remaja pada umumnya setelah
berkenalan dengan lawan jenis, dan libido telah mendorongnya jatuh cinta, maka
semua jalan/alternatif menjadi buntu, dunia menjadi sempit, tidak ada lagi yang
namanya kedewasaan berfikir dan kesadaran agama. Oleh karena itu peran
orang tua dan pendidikan sangatlah menentukan bagi lahirnya kedewasaan dan kesadaran tersebut, sehingga
motivasi remaja dalam memilih jodoh dapat dibangun.
Pada umumnya para
remaja mendapatkan jalannya sendiri-sendiri, ada yang karena terjadinya pertemuan yang intens (seprofesi), ada yang secara
aktif melakukan pendekatan, ada yang melalui perantara,
lewat biro jodoh, chating dan lain-lain, bahkan ada yang mencari
jodoh melalui dukun.
Sebenarnya agama itu memberi kebebasan, semua jalan bisa ditempuh, yang pentingpertama, tidak sesat, seperti perdukunan dan guna-guna, kedua; tidak dengan maksiat, yaituperkenalan yang tidak mengandung dosa, seperti menjaga aurat, tidak menyepi berdua, kalaumau bicara di pasar dan sebagainya. Ta’aruf yang halal menurut Islam untuk menjajaki calon pasangan yang dicari sesuai kriteria agama. Ketiga; melalui perantara orang-orang shalih/ alim.Hal ini lebih baik karena mereka lebih netral, mengetahui konsep agama dan konsep kafa’ah sehingga sang perantara akan berusaha mengetahui calon yang akan dipertemukan,menyangkut agama, keturunan, kedudukan dan tingkat kesetaraan antara keduanya. Keempat;adalah dengan shalat istikharah yang dilakukan ketika belum memiliki kecenderungan pilihan,sebab kecenderungan itu akan membuat istikharahnya terhijab.
Keempat cara tersebut bisa diambil salah satu, dua, atau gabungan semuanya.
1.
Kriteria Wanita Shalihah
“Wanita itu dikawini karena empat hal: pertama karena kecantikannya, kedua karena hartanya, ketiga karena nasabnya dan keempat karena agamanya, maka pilihlah karenaagamanya, hidupmu akan bahagia” (HR Bukhari dan Muslim)
Urutan ”cantik, harta, nasab dan agama” adalah cara bicara Nabi SAW sesuai naluri lawan
bicaranya (Al Hadis) yaitu pemuda, sehingga cantik menjadi urutan pertama,
padahal urutan dimaksud sebenarnya dibalik, yaitu “ agama, nasab, kedudukan/harta,
baru kecantikan”. Bahkan Rasulullah SAW melarang dan mengancam laki-laki yang memilih wanita bukan karena agama:
“Jangan kalian mengawini wanita karena
kecantikannya, bisa jadi kecantikannya akan membuatnya sombong. Dan jangan pula
karena hartanya, bisa jadi kekayaannya membuat dia melawan, tetapi kawinilah
wanita karena agamanya. Sesungguhnya hamba sahaya yang hitam lagi pesek namun
beragama itu lebih baik.”(HR Ibnu Majah)
Agama yang
dimaksud bukan hanya ilmu agama (knowledge) tapi “dzaatuddin”, memiliki kesadaran agama.
Pilihan agama berada pada peringkat tertinggi karena pertama;meyakini
bahwa perjodohan yang ia alami adalah pilihan Tuhan yag terbaik, sehingga akan
berusaha menjaganya, menyelesaikan semua masalah melalui ajaran agama, dan
dapat menerima kenyataan hidup dalam rumah tangga dengan modal keyakinan
terhadap janji Tuhan sehingga konsekwensinya
harus kuat bertawakkal. Kedua;
taat kepada suaminya selama pasangannya itu tidak maksiat kepada Allah, ; ketiga; menjaga diri dan harta suaminya, dengan menahan
diri belanja sesuatu yang tidak prioritas dan
kurang bermanfaat bagi keluarganya.Keempat; berusaha memberikan kasih sayang kepada suami
dengan mensyukuri dan merispon positif, apapun yang diberikan kepadanya
(mawaddah).
Mencari gadis yang
memiliki keempat potensi tersebut bukan hal mudah, sehingga disamping mengenal
betul kehidupan keluarganya, juga tidak dapat mengabaikan pendekatan spiritual.
Rahasia perumpamaan ladang bagi wanita (Al Baqarah: 223) antara lain bahwa ladang lebih menentukan
unggulnya bibit yang akan dilahirkan, daripada benihnya. Betapapun unggul benih, jika
lahannya gersang, maka disamping akan banyak memakan biaya dan tenaga, juga tidak
mampu menjamin keunggulan bibit yang akan terlahir.
Wanita beragama
mampu menggunakan sifat-sifat keibuannya hanya
untuk membimbing anak-anaknya. Sifat keibuan wanita ini didukung oleh dua hal, pertama; wanita itu memiliki rasa cinta lebih besar yang karenanya besar
pula pengorbanan demi anak-anaknya,kedua; memiliki kelembutan rasa yang karenanya anak-anak lebih dekat dan dalam kehangatan
dekapannya (Quraish Shihab). Dua sifat menonjol itu tidak
dapat diganti oleh siapapun dan sangat diperlukan bagi pertumbuhan anak. Tetapi
jika dua sifat itu tidak untuk anak-anaknya (keluar dari fitrah), maka
efek negatifnya justru akan lebih besar. Seperti rasa cinta wanita terhadap harta, memiliki resistensi tinggi dalam persaingan hidup, atau jikakelembutan rasa yang dimiliki ibu (cerewet) itu untuk suami, maka
akan sangat negatif. Ibu cerewet terhadap anak-anaknya sangat positif (Ayah Edi), sedang cerewet terhadap suami menjadi sebaliknya.
Adapun memilih
wanita karena keturunan yang baik, keuntungannya antara lain,pertama; ia
memiiki genetika yang sangat potensial untuk dibentuk
menjadi manusia yang baik,kedua; memiliki
sifat-sifat yang telah dibentuk oleh lingkungannya, ketiga; mendapatkan do’a
dari nenek moyangnya yang memungkinkan hati menjadi lunak untuk mendapat bimbingan agama
dan kebanaran.
Memilih wanita karena kedudukan atau kekayaan pada umumnya, Pertama,
kedudukan dan kekayaan (yang wajar) itu berkaitan dengan kecerdasan,
pengetahuan dan ketrampilan, Kedua, Kedudukan juga berkitan dengan etika, menjaga
adat istiadat dan tata pergaulan alias berbudaya.
Sedang memilih wanita karena kecantikannya tidak ada
kelebihan kecuali kecantikan itu sendiri.
2.
Kriteria Laki-laki
yang Bertanggung Jawab
Pada dasarnya
kriteria pertama laki-laki yang
baik adalah sama dengan kriteria wanita yaitu agama, keturunan, kedudukan dan ketampanan. Hanya saja
agama bagi laki- laki, adalah :
a. Untuk menjaga benih dalam dirinya, tidak dicemari
dengan maksiyat-maksiyat.
b. Membuatnya (secara agama) mampu memilih ladang dan
mengolahnya dengan baik, atau memilih dan membimbing istrinya kelak.
Kriteria kedua bagi laki-laki
adalah memiliki “Qawwam” kemandirian atau tanggung jawab yang didukung oleh dua hal. Pertama; punya kelebihan diantara
laki-laki lain dalam hal tertentu, yang secara subjektif-eksklusif menjadi magnit yang mengikat pasangannya. Kedua;punya
harta yang dibelanjakan untuk keluarganya (An Nisa’: 34)
Adapun nasab itu
penting bagi laki-laki, karena posisinya sebagai pembawa bibit, sehingga laki-laki
sebagai petani yang memilih ladang subur, mengolah sekaligus membawa dan menjaga bibit yang dimiliki.
Wali perempuan harus mengetahui agama dan tanggung jawab calon menantunya,karena sadar bahwa kepadanyalah ladang buah hatinya itu akan diserahkan. (Al Baqarah 223)
Disamping sebagi petani, lakilaki juga dituntut untuk hanya cenderung kepada istrinya bukan menuruti keinginannya kepada wanita lain atau punya kecenderungan seks menyimpang.(QS. Ar Rum: 21)
Pengertian Kafa’ah
Secara bahasa kafa’ah adalah setara,
seimbang atau cocok. Dalam istilah fiqihKafa’ah adalah kecocokan pasangan ditinjau dari segi agama
dan status sosial. Tolok ukur kafa’ah pada zaman nabi SAW, disamping agama,
lebih tertuju pada status sosial, seperti laki-laki merdeka dengan perempuan merdeka, budak
dengan budak, bangsawan dengan bangsawan, rakyat
jelata dengan yang sederajat, dan seterusnya.
Ada tiga hal yang menjadi standar kafa’ah dalam ajaran
Islam, pertama,
sama-sama tidak musyrik dan bukan pezina; kedua,
kesetaraan dalam kriteria laki-laki dan wanita sebagaimana penjelasan di atas; ketiga, kesetaraan ”harga diri”
Menurut pandangan
Abu Hanifah, menikah itu adalah jual beli (Bidayatul
Mujtahid)yaitu menukar sesuatu dengan harga (nilai) yang seimbang, yang jika
diungkapkan dengan kata-kata menjadi “Saya membeli harga diri kamu dengan harga
diri saya” artinya apa yang diterima dan yang diberikan oleh laki-laki memiliki
bobot nilai yang sepadan dengan apa yang diterima dan yang diberikan oleh perempuan.
Kafa’ah yang diajarkan agama akan menjamin lestarinya hubungan suami-istrisehingga kafa’ah ini disamping bermanfaat untuk menyempurnakan separuh agamanya ataumenyempurnakan akhlaq, juga bagi pemenuhan kebutuhan hidup baik biologis, psikologismaupun social, sehinggamanfaat tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. Jika kecocokan tersebut dalam berpegang pada
ajaran agama, maka:
a. Akan meningkatkan kesabaran dan menghilangkan sifat
egois masing-masing serta meningkatkan sifat kasih sayang, saling menghargai,
saling mengingatkan/ menasehati dan
tolong-menolong.
b. Semua masalah keluarga yang muncul akan cepat
teratasi, karena sama-sama sepakat meninjau masalah tersebut berdasarkan agama,
serta dapat mengatasi semua kesenjangan antara keduanya,
seperti perbedaan status social, back ground masing-masing, perbedaan tingkat
pendidikan dan budaya.
c. Meningkatkan tawakkal dan harapan kepada Allah SWT. Karena dalam hubungan suamiistri ternyata banyak keinginan masing-masing yang tidak dapat dipenuhi olehpasangannya, dan manusia tidak tahu dengan rencana Tuhan terhadapnya.
2. Jika kecocokan tersebut dalam status sosial, maka hal ini akan dapat mengurangi konflikyang melibatkan keluarga masing-masing, terutama tidak adanya fihak yang merasagengsinya turun akibat pernikahan mereka.
3. Jika kecocokan tersebut pada tingkat pendidikan
akan melahirkan saling pengertian, karena masing-masing dapat memahami urusan
dan keputusan yang diambil oleh pasangannya.
4. Jika kecocokan tersebut dalam hasrat seksualnya,
maka akan saling menjaga mood pasangannya sehingga menghindari terjadinya
penyelewengan. Dan tentu masih banyak manfaat lain yang tidak mungkin dapat
dituangkan dalam makalah ini.
Kesimpulan
- Mencari
calon pasangan hidup tergantung pada motivasi, jalan yang ditempuh,
menyadari posisi dirinya, mengetahui kriteria
menurut agama dan mempertimbangkan konsep kesetaraan (kafa’ah)
- Pendekatan
yang ideal adalah melalui keterpaduan antara emosi, intlektual dan
spiritual, sesuai objeknya yang memiliki tiga dimensi yaitu fisik, psikhis dan rohani.
- Kriteria
ideal untuk laki-laki dan perempuan menurut agama telah menggambarkan
keseimbangan dalam keberagamaan keduanya, dalam sifat maskulin dan
femininnya, dalam tanggungjawab laki-laki dan dukungan kesalihan
perempuannya, dan dalam potensi masing-masing untuk mencurahkan kasih sayang terhadap pasangnnya (mawaddah dan rahmah).
- Konsep
kafa’ah dalam agama jika dapat direalisasikan akan menjamin lestarinya
hubungan suami-istri dan bermanfaat bagi penyempurnaan agama atau peyempurnaan akhlaq, dan bagi pemenuhan
kebutuhan hidup baik biologis, psikologis maupun social.
No comments:
Post a Comment